• LinkedIn
  • Join Us on Google Plus!
  • Subcribe to Our RSS Feed

Rabu, 09 Maret 2016

Telusur Glodok

13.32 // by dalijo // , , // 24 comments


glodok
Candranaya

Sebagian besar dari kita, terutama orang Jakarta, pasti tahu bahwa kawasan Glodok adalah area pusat untuk mencari peralatan elektronik atau keping DVD  film-film luar. Tapi dibalik nama itu ternyata tempat ini menyimpan lorong-lorong sejarah yang menarik untuk ditelusuri. Satu hari sebelum hari raya Imlek, saya memiliki kesempatan itu.

Berawal dari ketidaksengajaan membaca twit tentang Jakarta Walking Tour yang diprakarsai oleh Jakarta Good Guide, saya tertarik untuk mencicipi bergabung dengan salah satu acaranya. Ternyata hari Minggu tanggal 7 Februari 2016 jadwal tournya adalah ke kawasan Glodok. Mumpung satu hari sebelum Imlek pasti feelnya udah terasa, pikir saya. Saya akhirnya ikut acara tersebut.

Jam 9 pagi adalah jadwal dimulainya tour yang diawali dari sebuah minimarket di kompleks Hotel Novotel Jalan Gajah Mada. Peserta tour ada 7 orang dengan seorang guide, namanya Mas Farid. Karena ada 3 peserta berasal dari luar negeri, maka penjelasan dilakukan menggunakan Bahasa Inggris. Meskipun perlu waktu bagi otak saya untuk menerjemahkan setiap kata yang meluncur dari mulut Mas Farid, tetapi penjelasan yang disampaikan cukup mudah untuk dimengerti.

Candranaya
Obyek tour pertama adalah Candranaya. Letaknya ternyata sangat dekat dengan meeting point kami, bahkan masih satu kompleks dengan Hotel Novotel, tepatnya kompleks Green Central City. Rumah dengan arsitektur Tionghoa yang khas ini diapit oleh bangunan-bangunan tinggi modern, meski begitu aura klasiknya masih jelas terpancar.
glodok
Mas Farid menjelaskan arti gambar di dalam Gedung Candranaya

glodok
Kolam di belakang gedung
Sebuah kain merah bertuliskan huruf emas tionghoa bertengger di depan pintu utama, tepat di atasnya tertempel papan bertuliskan Candranaya. Memasuki bangunan ini terasa masuk ke dalam suasana rumah klasik seperti di film-film dari Tiongkok. Langit-langit yang tinggi didesain agar udara tidak terasa pengap dan panas ketika berada di dalam rumah. Beberapa lampion tergantung di atas, tulisan-tulisan Tionghoa, tempat sembahyang dan tak ketinggalan kolam di bagian belakang benar-benar ingin meyakinkan bahwa inilah gaya arsitektur rumah masyarakat Tionghoa.

Candranaya dahulu merupakan kediaman Mayor Khouw Kim An, Mayor Tionghoa terakhir di Batavia (1910-1918 dan diangkat kembali 1927-1942). Gelar mayor diberikan pemerintah kolonial Belanda kepada pemimpin etnis Tionghoa yang bertugas mengurusi kepentingan masyarakat Tionghoa.

Perhimpunan sosial Xin Ming Hui pada tahun 1946 menyewa bangunan ini sebagai gedung perkumpulan. Organisasi ini sendiri bertujuan untuk membantu korban perang. Pada tahun 1965, tahun di mana warga Tionghoa dianjurkan untuk mengubah nama Tionghoa menjadi nama-nama Indonesia, gedung ini juga terkena dampaknya. Tempat ini selanjutnya dinamakan dengan Candranaya yang berarti sinar rembulan.

*****

“Ada dua versi asal-muasal nama Glodok,” Mas Farid menjelaskan ketika kami meninggalkan Candranaya menuju obyek berikutnya.

Versi pertama adalah dari sebuah pancuran yang ada di halaman gedung balaikota, dimana mengalir air bersih yang dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari para serdadu kompeni dan tidak ketinggalan untuk minum kuda tunggangan. Air pancuran ini berbunyi grojok-grojok, sehingga selanjutnya dilafalkan dengan glodok.

Versi kedua adalah dari Bahasa Sunda, Golodog, yang artinya pintu masuk rumah. Posisi Glodok yang berada di utara atau dekat dengan pelabuhan Sunda Kelapa membuatnya seperti menjadi pintu masuk bagi segala manusia maupun barang. Dari kata golodog itu selanjutnya lidah lebih enak menyebutnya Glodok.

“Dua versi tersebut sangat masuk akal, silahkan mau percaya yang mana” lanjut Mas Farid.

Selanjutnya kami berjalan kaki menyusuri Jalan Gajah Mada menuju kawasan Petak Sembilan. Bagian yang cukup terkenal di daerah ini adalah Gang Pancoran. Di gang ini banyak pedagang yang menjajakan barang layaknya di pasar tradisional. Kebetulan waktu itu adalah satu hari menjelang imlek, banyak pedagang yang menjual pernik-pernik imlek seperti kue keranjang, amplop angpao, sampai lampion.
glodok
Kue Keranjang

Ikan yang dijual di Gang Pancoran
Ada salah satu tradisi masyarakat Tionghoa dalam merayakan imlek, yaitu samseng yang kira-kira berarti tiga binatang kurban. Ketiga binatang ini mewakili unsur udara, darat dan air. Unsur udara biasanya diwakili oleh bangsa unggas, lalu darat oleh babi, dan air oleh ikan. Tidah heran jika tiga unsur tersebut mudah saya ditemukan di pasar Gang Pancoran.

Vihara Dharma Bhakti
Di ujung Gang Pancoran ada sebuah kelenteng atau vihara tertua di Jakarta, namanya Vihara Dharma Bhakti atau Kim Tek Le atau Jin De Yuan.
glodok
Pintu gerbang Vihara Dharma Bhakti

“Kelenteng ini berdiri pada tahun 1650,” terang Mas Farid meyakinkan bahwa sudah sangat tua umur tempat ini.

Istilah kelenteng hanya ada di Indonesia dan itupun awal munculnya dari tempat ini. Dulu nama tempat ibadah ini adalah Kwan Im Teng atau paviliun Kwan Im (Dewi Kwan Im). Karena lidah masyarakat Indonesia susah untuk melafalkannya, lebih mudah mengucapkannya dengan kelenteng maka sejak saat itu tempat ibadah masyarakat Tionghoa lebih dikenal dengan istilah kelenteng.
glodok
Sembahyang

glodok
Terlihat tiang-tiang yang menghitam bekas terbakar

glodok
Bagian dalam vihara

Vihara Dharma Bakti bisa dibilang menjadi pusat peribadatan masyarakat Tionghoa terutama di kawasan Glodok. Menyambut imlek, tempat ini menjadi sangat ramai.  Tidak hanya manusia, benda-benda peribadatan seperti lilin yang sangat besar juga memenuhi ruangan. Lilin-lilin besar ini adalah sebuah nazar atau bentuk ucapan syukur dari orang yang doanya telah dikabulkan. Layaknya api yang menyala, doa dan harapan juga tak pernah padam. Sayangnya, pada tahun 2015, lilin-lilin ini kemungkinan yang menyebabkan terbakarnya Vihara Dharma Bhakti. Sisa kebakaran masih bisa terlihat jelas pada tiang-tiang pada kelenteng yang terlihat hitam seperti arang. Sampai saat ini, tempat ini masih dalam tahap renovasi.

*****

Kami melanjutkan berjalan menyusuri Jalan Kemenangan di wilayah Glodok. Tujuan berikutnya adalah Gereja Santa Maria de Fatima. Karena sedang ada misa, hanya beberapa saja dari kami yang bisa masuk ke gereja yang dibangun pada tahun 50an itu.
glodok
Di depan gereja

glodok
Gereja Santa Maria de Fatima

Rintik-rintik kecil air mulai turun saat kami berjalan menuju Kelenteng Toa Se Bio. Letaknya tidak jauh dari Gereja Santa Maria de Fatima. Sama seperti Vihara Dharma Bhakti, kelenteng ini juga dipenuhi dengan lampion, lilin dan arsitektur bernuansa merah. Bau dupa tercium ketika langkah kaki memasuki kelenteng ini. Memang banyak orang yang sedang bersembahyang di dalam ruangan kelenteng yang bisa dibilang tidak terlalu luas sehingga terasa sangat ramai.
glodok
Kelenteng Toa Se Bio

Kami tidak terlalu lama berada di Kelenteng Toa Se Bio, selanjutnya kami berjalan melewati gang-gang kecil menuju Gang Gloria. Banyak orang yang menyebutnya sebagai gang kuliner. Memang tidak salah sebutan tersebut, karena banyak makanan yang dapat ditemui, bahkan beberapa diantaranya cukup terkenal. Sebut saja Kopi Es Tak Kie, Gado-gado Direksi, mie kangkung, dll. Tapi pastikan dulu dengan bertanya apakah makanan yang hendak dibeli halal atau tidak, karena banyak juga makanan yang mengandung daging babi.
glodok
Salah satu penjual di Gang Gloria

glodok
Mie Kangkung

Di ujung Gang Gloria, berujung pula walking tour kali ini. Mas Farid mengakhiri tour ini dengan meminta foto bersama kami. Tak lupa kami berterimakasih karena penjelasan yang bagus dan jelas selama tour ini berlangsung. Peserta berpisah dan melanjutkan perjalanannya masing-masing. Saya dan istri memilih untuk mengisi perut kami dengan menyantap mie kangkung yang memang terasa sangat lezat untuk mengakhiri tour yang sangat menambah wawasan.

Di Glodok pernah terjadi pembantaian ribuan warga Tionghoa saat jaman Belanda, di Glodok pula pernah terjadi huru-hara saat masa reformasi, tapi di tempat ini pula geliat ekonomi Kota Jakarta berkembang.


Informasi tentang Jakarta Walking tour bisa dilihat di https://jakartagoodguide.wordpress.com/

24 komentar:

  1. Kapan" main ke glodok kalau begitu... thank you kang

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. tempatnya begitu bersih dan adem ya, apalagi mie kangkungnya, wihh bikin ngiler dah, hahaha

    BalasHapus
  4. sya pernah ke glodok mas, namun cuman sebentar, gak taw ada kuliner yang enak disana. kalau kesana lagi cobak mampir deh

    BalasHapus
  5. makanannya duh, jadi pengen

    BalasHapus
  6. refrensi wajib pas wisata nih, thanks :)

    BalasHapus
  7. seru banget emang kalau ngomongin jalan2 mah, jadi gak sabar mau libur lebaran

    BalasHapus
  8. ah padahal seru banget ya walking tour ini, waktu itu niat join sayang banget schedule nya gak pas :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. seru kak :)
      kalo k jkt lg coba tanya aja jadwal walking tournya kmana aja, soalnya tiap hari ada jadwalnya

      Hapus
  9. wah, keren tempatnya , atur waktu buat jalan kesana ah.
    Yuk cari tahu wisata Jambi

    BalasHapus
  10. Unik juga nih Glodok! Keren!

    Adis takdos
    travel comedy blogger
    www.whateverbackpacker.com

    BalasHapus
  11. wih kebayang kalau city tour glodok, kaya heritage tour gt ya. asik gt.
    oh ya , salam kenal nggih

    hanif insanwisata.com

    BalasHapus
  12. ga perlu jauh2 pergi ke tiongkok, cukup ke glodok udh berasa bukan di Indonesia lagi, melainkan di china :v

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau mau maen ke Tiongkok jg gapapa sih mas, hahaha :)

      Hapus
  13. katanya klenteng yang tua itu kebakaran ya? :(

    BalasHapus
  14. mantap sekali.. candranaya memang paling rekomended...

    BalasHapus
  15. sejarah yag harus dan wajib keta lestarikan.

    BalasHapus