• LinkedIn
  • Join Us on Google Plus!
  • Subcribe to Our RSS Feed

Sabtu, 06 September 2014

Gua Batu Cermin Bercerita

21.54 // by dalijo // , // 13 comments

Batu-batuan adalah pencerita sejarah yang paling ulung, begitulah kira-kira para geolog mendeskripsikan apa yang tercetak pada batu-batu yang mereka teliti. Bagi yang bukan ahli dalam bidang teresebut atau katakanlah orang awam, mungkin kalimat itu terasa aneh. Bagaimana mungkin benda mati bisa menceritakan sejarah? Ternyata batuan itu adalah lukisan alam, dari sana para ahli itu bisa membaca apa yang terjadi di masa lampau.

Dari pergerakan bumi dan segala aktivitasnya, salah satu hal yang terbentuk adalah gua. Gua adalah lubang pada batuan besar, bisa di gunung, di tebing, atau sejenisnya. Yang menarik dari gua adalah dia juga merupakan pencerita sejarah yang sangat hebat. Tidak hanya sejarah dari bumi sendiri tetapi sering kali di dalam gua terdapat jejak-jejak kehidupan masa lampau. Kita tahu manusia jaman dahulu mempergunakan gua sebagai tempat tinggal. Mereka lalu meninggalkan peralatan mereka di sana, kadang mereka menggambar dinding-dinding gua, ada pula sisa-sisa makanan yang tertinggal, dan bahkan tulang belulang mereka sendiri masih ada di dalam gua.

Awal Februari kemarin saya sempat berada di Labuan Bajo, ujung barat Pulau Flores. Selain wisata baharinya yang memang menakjubkan ada juga gua yang bisa memaparkan sejarah kawasan itu. Nama gua itu adalah, Gua Batu Cermin.

Saya, berdua bersama partner saya, setelah makan siang menuju ke Gua Batu Cermin menggunakan sepeda motor sewaan. Letak gua tersebut tidaklah jauh dari dermaga, yang merupakan pusat keramaian Labuan Bajo, mungkin sekitar 3-4 kilometer jaraknya.

Jalan yang dilalui cukup bagus, hanya 100 meter sebelum kawasan gua saja jalanannya tidak diaspal, atau mungkin lapisan aspalnya sudah rusak. Kami berhenti tepat di depan pos retribusi, di sana ada dua petugas yang menjaga. Saya lupa berapa jumlah uang yang harus dibayar satu pengunjung.

Setelah memarkirkan motor, satu orang petugas mendatangi kami dan membawa dua helm sebagai perlengkapan standar untuk masuk gua. Lucunya, dia sendiri malah tidak memakainya. Orang yang paling berpengalaman mungkin merasa paling aman. Selanjutnya dia memperkenalkan dirinya dan akan menjadi pemandu kami untuk menyusuri gua. Saya lupa namanya, yang saya ingat dari paras wajahnya dia masih berumur awal 20 tahunan.

Dari tempat parkir, kami berjalan menuju gua dengan melewati jalan kecil dengan tatanan paving block, seperti jalanan di taman. Di kanan kiri tumbuh rimbun pohon bambu, bukan bambu biasa yang diameter batangnya cukup besar tapi bambu yang kecil tapi karena sangat rimbun dan saling berhubungan antara bambu di seberang dengan seberangnya hingga membuat cahaya agak tertutup, bahkan berbentuk seperti lorong. Tidak heran jika paving block sebagian ditumbuhi lumut.

“Plakkkk….” Saya menampar betis saya. Ada nyamuk yang baru saja hinggap di sana. Beberapa bagian tubuh sudah bentol-bentol habis digigit nyamuk. Ternyata bambu-bambu itu juga menjadi sarang nyamuk.

Setelah berjalan kira-kira 300 meter, barulah kami sampai di depan mulut gua. Jangan berpikir mulut gua ini seperti gua yang hanya berlubang satu. Gua Batu Cermin adalah kumpulan beberapa batu besar yang membentuk celah dan ruangan-ruangan di dalamnya. Jadi sebenarnya tidak jelas di mana mulut utama guanya.

Fosil di Batu Cermin
Fosil terumbu karang
Kami langsung ditunjukkan fosil terumbu karang yang tercetak di dinding batu. “Ribuan tahun yang lalu tempat ini adalah dasar lautan, lalu karena proses alam batu-batu terangkat dan sebagian menjadi fosil ini.” Sang pemandu menjelaskan. Memang terlihat jelas bentuk dari koral yang sudah menjadi fosil tersebut.

Selanjutnya kami melangkah di bagian celah dari dua dinding. Di sana terdapat stalagmit yang menjulang cukup tinggi. Di bagian lain, sambil menengadah dan menunjuk, pemandu bilang, “Itu adalah batu-batu yang runtuh karena gempa besar di Flores awal tahun 90an.” Ada beberapa batu yang terjepit di antara celah dan menggantung di atas. Terlihat seperti hendak jatuh, akan tetapi sang pemandu masih menjamin keamanan kami. “Aman, mas!”
Batu Cermin
Batu yang terjepit hendak jatuh
Berikutnya kami diajak menuju bagian dalam di mana cahaya matahari semakin redup. Pemandu hanya membawa satu senter, untungnya saya membawa powerbank yang ada senternya, sedangkan partner saya tidak membawa apa-apa. Jadi posisi selanjutnya pemandu berjalan di depan dan saya paling belakang. Beberapa kesempatan kami harus menunduk karena lubang yang akan dilewati begitu kecil dan pendek. Suasananya sangat lembab, tanahnya pun sangat becek.

Kami berada di ruangan yang sangat gelap sempurna. Tak ada cahaya sama sekali apabila kami mematikan senter. Saya tak bisa mengira dengan tepat berapa luasnya. Langit-langitnya juga tak begitu tinggi. Pemandu mengajak kami untuk melihat satu titik di langit-langit, dan mengarahkan senternya pada sebuah tonjolan kecil. “Para ahli bilang kalau ini adalah fosil penyu” katanya.

Saya begitu, kalau bisa dibilang, terpesona dengan fosil itu. Bentuknya jelas sangat mirip dengan penyu. Cangkangnya yang menonjol dengan pola kotak-kotak lalu kepalanya yang lancip. Benar-benar fosil yang sangat sempurna. Di dalam ruangan ini juga ada binatang yang hidup meski tak ada cahaya. Bentuknya seperti laba-laba dengan warna hitam, akan tetapi badannya sangat tipis dan kakinya panjang-panjang.
Batu Cermin
Fosil penyu
Kami selanjutnya keluar dan menuju ke ruangan lain. Tanah masih becek dan cahayanya juga masih minim. Dengan menunduk dan beberapa kali juga memiringkan badan agar bisa melewati celah yang sempit, kami sampai di ruangan yang di atasnya ada lubang kecil untuk masuknya cahaya matahari.  Dari ruangan kami berdiri, saat sinar matahari masuk dari lubang di atas, apabila baru saja ada hujan maka akan ada genangan di tanah yang akan memantulkan bayangan tubuh kita, seperti cermin. Maka dari itu nama tempat ini disebut Batu Cermin. Sayangnya saat itu tak ada air yang tergenang dan posisi matahari tidak pas pada lubang jadi cerminan tubuh saya tak dapat tergambar dengan jelas.

Dari tempat ini kita bisa simpulkan bahwa keindahan bawah laut Flores tak hanya ada pada jaman sekarang saja, tapi dari masa lampau pun kekayaan itu sudah ada. Memang benar kata para geolog itu, batuan adalah pencerita sejarah paling ulung.

Batu Cermin
Fosil ikan

Batu Cermin
Saya baru menyadari saat melihat-lihat foto di komputer bahwa bentuk salah satu dinding di Gua Batu Cermin ada yang mirip bentuk wajah orang .

Trivia:
Bagaimana cara para ahli mengetahui umur suatu fosil?
Dengan cara memanfaatkan unsur radioaktif. Unsur-unsur radioaktif menjadi jam yang sangat bagus karena mereka meluruh menurut jadwal waktu yang ketat. Sebagai contoh uji karbon. Uji ini dilakukan karena organisme mengambil karbon-12 yang biasa dan karbon-14 yang radioaktif dari udara dan air. Uji ini menganggap bahwa rasio karbon (C-12 dan C-14) di udara dan air tetap sama selama ribuan tahun dan itulah yang ditelan mikroorganisme. Karbon-12 jumlahnya tetap di dalam organisme, sedangkan karbon-14 meluruh sesuai waktu dan separuhnya lenyap dalam waktu 5.730 tahun. Jadi apabila ingin menentukan umur suatu fosil bisa dengan mengukur jumlah relatif kedua karbon tersebut.