• LinkedIn
  • Join Us on Google Plus!
  • Subcribe to Our RSS Feed

Sabtu, 28 Oktober 2017

Museum Sumpah Pemuda dan Bait ke 3

09.58 // by dalijo // // 11 comments

Sudah hampir 3 tahun saya tinggal di Jakarta, beberapa kali sudah saya melewati Jalan Kramat, tapi belum pernah saya berhenti dan menyambangi Museum Sumpah Pemuda yang terletak di jalan tersebut. Namun satu pekan sebelum peringatan 89 tahun hari bersejarah tersebut, saya niatkan diri untuk singgah barang sejenak ke museum ini.

Terletak di jalan yang cukup ramai tak membuatnya dikunjungi banyak orang, bahkan seperti dilupakan. Berdasarkan buku tamu yang ada pada meja receptionist, saya adalah orang/rombongan ke 30 yang berkunjung pada bulan Oktober. Padahal hanya dua ribu rupiah harga tiket untuk masuk ke gedung ini. Nilai yang sangat kecil pada saat ini, bahkan untuk parkir di mal saja lebih mahal dari itu.

Saya tidak memahami gaya bangunan ini, mungkin perpaduan antara Eropa dan China. Mengingat gedung ini awalnya merupakan milik Sie Kong Liang dan didirikan pada masa pendudukan Belanda, jadi kemungkinan besar kedua kebudayaan tersebut mempengaruhi desain arsitektur bangunan ini. Di bagian depan, terdapat beberapa patung setengah badan tokoh-tokoh penting dalam Kongres Pemuda 2 yang diadakan di gedung ini pada tahun 1928. Selain di bagian luar, patung-patung tersebut juga bertengger di bagian dalam. Terdapat pula patung diorama menggambarkan aktivitas diskusi pemuda-pemuda pada saat itu.

Sebagian besar ruangan berukuran tidak terlalu besar, layaknya kamar kosan mahasiswa. Sebelum digunakan sebagai tempat dideklarasikannya Sumpah Pemuda, tempat ini disewa oleh mahasiswa yang berkuliah di sekitarnya sebagai tempat pemondokan. Beberapa dari mahasiswa tersebut nantinya akan menjadi tokoh penting bangsa ini, sebut saja Muhammad Yamin dan Amir Sjarifoedin, serta tokoh-tokoh lainnya. Di sini pula banyak dilakukan diskusi oleh pemuda-pemuda yang berhasrat untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa,

Memasuki gedung ini seperti berjalan melalui labirin masa perjuangan. Tiap ruangan saling terhubung satu sama lain. Dinding-dinding sesak dengan poster berisi informasi mengenai gedung ini maupun tentang peristiwa sumpah pemuda. Memang informasi yang terdapat pada poster-poster tersebut sangat penting, akan tetapi saya merasa bahwa penempatannya terlalu ramai sehingga malah membuat ruangan terlihat sesak. Selain itu, terdapat pula beberapa komputer yang berisi informasi dengan grafis yang mudah untuk dioperasikan.
SOEMPAH PEMOEDA
Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Djakarta, 28 Oktober 1928
Bait ke-3 Sumpah Pemuda

Di bagian tengah gedung, terdapat ruangan yang cukup luas. Beberapa patung berpose sedang duduk seperti mendengarkan Rudolf W. Supratman yang sedang memainkan biola melantunkan “calon” lagu kebangsaan Indonesia Raya. Lirik lagu pada saat itu tidak sama persis dengan lirik lagu kebangsaan kita saat ini. Salah satunya adalah jumlah stanza yang awalnya ada 3 kemudian direduksi menjadi 1. Ada pula beberapa lirik yang diganti.


Di ruangan ini pula terdapat teks sumpah pemuda terukir di dinding. Saya melihat tulisan tersebut lalu baru menyadari bahwa bait ke tiga agak berbeda dengan dua bait pertama. Jika merujuk pada bait pertama dan ke dua, maka bait ke tiga juga semestinya berbunyi “ berbahasa yang satu, Bahasa Indonesia”. Nyatanya bait ke tiga tidak berbunyi demikian, alih-alih berbunyi “menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”. Tentu hal ini cukup menggelitik bagi saya, mengapa yang satu ini berbeda dari yang lainnya. Saya mencoba mencari tahu cerita dibalik hal tersebut.

Menurut Majalah Tempo edisi 2 November 2008, pada saat Kongres Pemuda Pemuda II, Muhammad Yamin, yang bertindak sebagai sekretaris kongres, membisikkan kalimat kepada ketua kongres, Soegondo Djojopoespito, “Saya punya rumusan resolusi yang elegan.” Setelah membacanya, tanpa perlu pikir panjang, sang ketua lalu memparafnya.

Muhammad Yamin, sang ahli hukum sekaligus ahli sastra dan sejarah tentu tidak asal-asalan dalam merangkai kalimat yang kemudian menjadi mantra ampuh dalam mempersatukan bangsa ini. Dia paham bahwa bangsa ini memiliki ratusan bahasa daerah dan tiap penuturnya merasa lebih nyaman menggunakannya dalam percakapan sehari-hari dibanding menggunakan bahasa lain. Keanekaregaman bahasa menggambarkan betapa kayanya budaya bangsa ini. Tak mau memaksakan untuk digunakannya satu bahasa saja, Yamin menyusun bait ke tiga Sumpah Pemuda dengan kalimat yang berbeda.

“Menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia” itu berarti tidak serta merta meninggalkan bahasa ibu dan bercakap dengan satu bahasa saja. Dalam keseharian kita tetap diperbolehkan untuk menggunakan bahasa daerah. Namun ketika berkomunikasi dengan penduduk dari daerah lain dan dalam forum formal atau nasional menggunakan bahasa pemersatu yaitu Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sejatinya belum ada pada saat dilangsungkan Kongres Pemuda II, yang ada adalah Bahasa Melayu. Muhammad Yamin melihat bahwa Bahasa Melayu memiliki jumlah penutur yang sangat banyak dan digunakan sebagai bahasa kebudayaan, penghubung/pergaulan, dan alat komunikasi oleh para pedagang di nusantara. Hal tersebut sudah mengakar sejak zaman dahulu, oleh karena itu Yamin mengusulkannya sebagai bahasa nasional. Namun, Mohammad Tabrani dan Sanusi Pane menginginkan “Bahasa Indonesia” sebagai bahasa nasional bukan Bahasa Melayu. Menurut Tabrani, “Bahasa adalah salah satu jalan untuk menguatkan persatuan Indonesia dan karena itu haruslah berikhtiar untuk memiliki satu bahasa yang lambat laun akan dapat diberi nama Bahasa Indonesia.”

Indonesia memiliki setidaknya 700 lebih bahasa. Namun, sayangnya kita menghadapi ancaman kepunahan terhadap bahasa tersebut. Hal ini dikarenakan banyaknya orang yang enggan menggunakan bahasa daerah, hingga akhirnya tidak adanya lagi penutur dari suatu bahasa. Memang di masa yang sangat maju sekarang ini kita dituntut untuk menguasai berbagai macam bahasa untuk berkomunikasi. Tapi melupakan bahasa daerah bukanlah pilihan yang bijak. Bapak bangsa ini, Sukarno, setidaknya menguasai 10 bahasa, tetapi masih sering menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya. Kita, yang mungkin menguasai bahasa tidak sebanyak beliau, malah enggan menggunakan bahasa daerah. Jangan sampai nasib bahasa lokal kita seperti nasib Museum Sumpah Pemuda, dilupakan di tengah keramaian.