• LinkedIn
  • Join Us on Google Plus!
  • Subcribe to Our RSS Feed

Jumat, 23 Agustus 2013

Apa yang Mereka Dapatkan?

08.14 // by dalijo // , // 2 comments

Pantai Lovina, Bali
Pantai Lovina
 "Saya ingin sekali melihatnya di lautan lepas, di rumah mereka."
Angin semilir membawa uap air dengan bau khas, aroma laut. Perahu-perahu berjejer di pinggir pantai, tak segaris tapi masih tetap terlihat rapi. Matahari baru saja lepas dari persembunyiannya, belum terlalu kuat menghalau kabut-kabut yang menutupi barisan bukit di belakang pantai.  Meski cuaca tak terlalu cerah, gelombang air masih begitu tenang, suasana pun tak ramai dengan pengunjung. Lovina begitu syahdu pagi ini.

Terlihat seorang ibu penjual makanan duduk di belakang meja kecilnya, menghidangkan beberapa gorengan dan beberapa jenis minuman yang diseduh dari termos airnya. Sendirian. ‘Mau lihat dolphin dek?’ sapanya sambil tersenyum ketika saya melewatinya. Saya membalasnya juga dengan senyuman dan mengangguk untuk menjawab ‘iya’.

Lovina memang terkenal dengan wisata lumba-lumbanya. Wisata ini mulai terkenal sejak pertengahan tahun 90an. Hal ini ditandai dengan adanya monumen lumba-lumba yang dibangun di pinggir pantai. Perahu kecil atau bisa juga disebut jukung yang digunakan untuk mengantar wisatawan ke tengah laut banyak ditemui disini. Tarif Rp 60.000,- per-orang menjadi salah satu sumber pendapatan warga sekitar yang mempunyai jukung.

Saya diantarkan oleh ibu tadi ke bapak ‘pengemudi’ jukung yang sudah siap berangkat melaut. Selain saya ada tiga bule yang juga menjadi penumpangnya.

Mesin Honda GX dengan daya 9 HP yang ada di belakang jukung sudah dinyalakan dan saat itu pula baling-baling berputar mendorong jukung yang terbuat dari fiber untuk melaju. Jukung ini tak begitu besar, dengan lebar tak lebih dari satu meter menyebabkan penumpang tak bisa duduk berdampingan. Panjangnya pun tak seberapa, sekitar 7 meter. Lima orang penumpang termasuk sang nahkoda itu sudah kapasitas maksimal.

Sudah setengah jam perjalanan dan kami sudah cukup ke tengah laut ketika saya merasa penasaran karena belum juga terlihat satupun lumba-lumba. Sempat beberapa kali berpapasan dengan jukung lain, dan dari wajah-wajah mereka tak menampakkan raut muka kecewa, yang saya artikan bahwa mereka habis melihat aksi lumba-lumba. Saat itu saya masih tenang-tenang saja.

Pak Mangku Banjir, begitulah yang diucapkan ketika saya menanyakan namanya. ‘Biasanya banyak sekali dek lumba-lumbanya, karena disini itu habitat mereka’ jelas Pak Mangku. ‘Karena itu pula tak ada musiman untuk bisa melihat lumba-lumba, kita bisa melihatnya sepanjang tahun, ini rumah mereka.’ tambahnya.

Tapi entah para lumba-lumba itu sedang sembunyi di bagian rumah yang mana atau malu untuk menemui tamu-tamu mereka, karena sudah satu jam jukung berputar-putar, berpindah dari satu titik ke titik lainnya, masih saja mereka belum terlihat.

‘Di dekat sini sebenarnya ada tempat untuk melihat lumba-lumba di kolam. Ada dua ekor lumba-lumba kalo tidak salah, hanya saja mahal, Rp 300.000,-/orang.’ Pak Mangku mulai bercerita lagi, entah yang diceritakan ini karena dia sudah putus asa mencari lumba-lumba atau apa, saya tak bisa membaca pikirannya.

‘Tapi lumba-lumbanya tidak berasal dari sini. Katanya dibawa pake truk yang diisi air dari Semarang. Disini tak ada lumba-lumba yang ditangkap. Kami hidup dari lumba-lumba ini, kalau mereka ditangkap, lalu kami mau makan darimana?’
Pantai Lovina, Bali
Pelangi di tengah laut
Ditengah-tengah cerita Pak Mangku, alih-alih melihat pemandangan lumba-lumba, kami malah disuguhi pelangi besar di tengah lautan.

‘Dulu sebelum ada wisata lumba-lumba ini, masyarakat sekitar sini hidup mencari ikan, tapi setelah wisatawan ramai ingin melihat lumba-lumba, banyak yang beralih menjadi pengantar wisatawan, hotel-hotel banyak dibangun, sebagian menjadi pegawai hotel, ada juga yang menjual suvenir.’ dengan jelas Pak Mangku bercerita, sambil matanya menatap laut memburu dimana lumba-lumba terlihat.

Satu setengah jam sudah kami berada di atas jukung dan tak jua ditemui lumba-lumba, satupun tidak. Saya ingin sekali melihatnya di lautan lepas, di rumah mereka. Saya tidak berharap mereka menampilkan atraksi memukau melompat melewati lingkaran api, atau menyundul bola warna-warni. Tak juga ingin difoto saat mereka mencium pipi saya. Karena saya tau ini bukan sirkus dan mereka juga tidak pantas untuk dijadikan produk sirkus. Hewan ini sangat pintar dan bukannya terlihat seperti itu ketika mereka ada di sirkus, mereka terlihat bodoh.

Padahal ada tiga jenis lumba-lumba yang hidup di perairan Lovina, Spinner dolphin (Stenella longirostris), Spotted dolphin (Stenella attenuata) dan Bottlenose dolphin  (Tursiop truncatus) lebih banyak daripada yang melewati perairan Kiluan di Lampung. Tak satupun dari jenis itu menampakkan dirinya. Spinner dolphin adalah lumba-lumba yang sering ‘dipakai’ untuk atraksi di sirkus, mereka hidup berkelompok dan senang ‘menari’ dilautan juga menyenangi perairan tropis.

Rasanya banyak hal bergantung pada kehidupan lumba-lumba di perairan Lovina ini; sadar-tak-sadar sejak wisata ini populer entah sudah berapa kali jukung ini menyumbang minyak bakar di perairan mereka, sudah berapa tulisan mengenai mereka, sudah berapa foto yang menyebarkan kecantikan mereka, sudah berapa rupiah dan dollar yang menyokong kehidupan manusia di Lovina.

Sedangkan mereka, lumba-lumba itu, apa yang  didapatkan sejak itu?

***
Pantai Lovina, Bali
The Wish jukung yang saya naiki
Jukung mulai menepi ke pantai lagi karena bahan bakar sudah mulai menipis.

‘We are not lucky,’ tutup Pak Mangku.


Terlihat wajah yang begitu kecewa dari para bule yang duduk satu tumpangan dengan saya. Mungkin mereka juga melihat hal yang sama terlukis di wajah saya. Dan sampai juga kami di pantai Lovina tanpa oleh-oleh gambaran lumba-lumba, hal itu masih menjadi harapan kami sesuai dengan nama jukung yang kami naiki, The Wish. [WY/F]

Tulisan ini dipublikasikan juga di Travelist Magazine Edisi ke 7 dan diedit oleh Ferzya Farhan

2 komentar: